• AKSES

    Internet Sehat


    http://bengawan.org/


  • Blog Stats

    • 19,083 hits
  • Paling Baru

  • Archives

  • Archives

  • Categories

  • FoTo

  • Enter your email address to follow this blog and receive notifications of new posts by email.

    Join 46 other subscribers
  • RSS Joglosemar

    • An error has occurred; the feed is probably down. Try again later.

Adaptasi Perubahan Iklim

Yuk, Belajar di Sekolah Iklim..!

Jam baru menujukkan sekitar pukul sembilan pagi, saat sekitar 15 petani asyik beraktivitas di areal persawahan. Mereka terbagi dalam beberapa kelompok dan larut dengan kegiatannya masing-masing. Yang pasti mereka bukan sedang mencari gulma, atau mengusir hama pengganggu tanaman. Mereka sedang bersekolah! Ya, sekolah lapangan. Bukan sembarang sekolah lapangan, ini adalah sekolah lapang soal iklim.

Sekolah Lapang Iklim atau SLI, adalah salah satu upaya yang ditawarkan pemerintah guna mengatasi problem ketidakpastian iklim akibat dari perubahan iklim global.

Bayangan sinar matahari masih seukuran tubuh, masih cukup menyehatkan, ketika Ibu Endang dengan bersemangat menerobos rerimbunan tanaman padi untuk mencatat setiap pengamatan yang dilakukan oleh Pak Mulyono. Di kelompok lain ada yang mencatat suhu dan kelembaban tanah, ada yang konsentrasi menghitung rumpun anakan padi serta jumlah bulir padi per rumpun. Seperti dilakukan oleh Pak Susilo yang dengan cekatan menghitung satu per satu jumlah bulir padi per rumpun.

Mereka semua adalah peserta Sekolah Lapang Iklim di Desa Rembun, Kecamatan Nogosari, Boyolali. Ibu Endang adalah seorang penyuluh pertanian sedangkan Pak Susilo dan Pak Mulyono adalah petani yang tergabung dalam Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A) Marsudi Makmur. Kegiatan yang digambarkan tadi adalah kegiatan lapangan mereka pada Rabu 27 Oktober 2010.

Pada kegiatan SL Iklim, petani membuat petak percobaan (demplot), yakni budidaya padi dengan perlakukan konvensional (ala petani pada umumnya), dan budidaya padi dengan perlakukan ala SL Iklim. Di laboratorium lapang itulah dilakukan pengamatan dengan membandingkan demplot konvensional dengan demplot ala SL Iklim. Nah, bagaimana penyajian datanya? Di bawah ini adalah pengamatan tim kelompok satu SL Iklim Rembun yang dipresentasikan salah satu peserta SL Iklim Pak Sujarwo:

Lantas, apa beda perlakukan antara Petak SLI dan petak di luar SLI. Pak Haji Muksam, salah satu peserta SLI, menjelaskan perlakukan dalam petak SLI di antaranya penerapan jejer legowo atau pertanaman padi dengan jarak lebih renggang. Kemudian, penggunaan pupuk organik dan meminimalkan pemakaian pestisida. ”Kita dulu kena serangan hama wereng kenapa? Karena petani kurang memahami caranya mengatasi hama wereng. Petani menggunakan obat yang berlebihan,” jelas Pak Muksam. Penggunaan pestisida berlebihan menyebabkan musuh alami mati sehingga hama akan lebih mudah berkembang.

Mengenai jejer legowo, Pak Muksam menjelaskan ada beberapa teknik di antaranya jejer 4-1. ”Jejer 4-1, maksudnya dalam empat tancap rumpun padi diberi satu gang,” katanya. Dengan jarak tanam yang yang lebih renggang ini, jelas Pak Muksam, membuat matahari dapat sampai ke areal perakaran sehingga mengungari kelembaban. Hama seperti wereng sangat menyukai tempat yang lembab, jika iklim mikro ini dikendalikan maka wereng tak akan mendapatkan tempat hidup yang ideal bagi perkembangannya.

Secara umum sekolah iklim memang mengajarkan budidaya pertanian ramah lingkungan di antaranya dengan meminimalkan penggunaan bahan anorganik termasuk pestisida. Teknik itu lantas dikombinasikan dengan informasi prediksi iklim dan pemahaman iklim mikro di areal pertanaman. Dari sini penyuluh pertanian dan Dinas Pertanian mempunyai peran penting dalam menyebarluarkan informasi prediksi iklim dalam kurun waktu tertentu. Dari prediksi iklim inilah dapat dianalisis potensi ancaman pertanian untuk kemudian dicarikan solusinya.

Musim Hujan

Sebagai contoh, jika pemerintah atau instansi terkait memprakirakan akan terjadi musim hujan dalam satu musim tanam padi, dapat dianalisis beberapa hal misalnya adanya serangan hama wereng. Hujan akan menyebabkan kelembaban meningkat. Kelembaban tinggi inilah yang memicu ledakan hama wereng. Aplikasi SL Iklim, seperti dijelaskan Pak Muksam salah satu di antaranya dengan membuat jarak tanam yang renggang, yakni dengan teknik jejer legowo. Jarak tanam renggang akan membuat kelembaban di daerah perakaran tidak berlebihan selain memudahkan petani mudah dalam mengusir wereng secara mekanik (dipyaki).

Hujan juga berpotensi menimbulkan banjir. Dalam SL Iklim di Rembun, didiskusikan faktor-faktor yang menyebakan banjir. Dengan mengenal faktor-faktor penyebab banjir, petani setidaknya dapat mengantisipasi kerusakan yang mungkin didapat dari banjir.

Berikut gambaran diskusi mengenai banjir dalam SL Iklim yang dipandu oleh Pak Iskak Harjono, instruktur SL Iklim Boyolali:

”Apa faktor penyebab banjir?” kata Iskak.

Jawaban yang tereskplorasi: curah hujan tinggi, penggundulan hutan, peresapan kurang, pendangakalan sungai, pembuangan sampah dan lain sebagainya.

”Bagaimana mengatasi banjir?” tanya Iskak.

Ide-ide yang mencuat adalah membuat sumur resapan atau embung, buang sampah jangan sembarangan, penghijauan, normalisasi saluran pembuangan, pengerukan sungai dan lain sebagainya.

Dari diskusi itu, petani diajak untuk mengenali penyebab banjir dengan belajar dari kasus-kasus di sekitar mereka. Petani juga diminta mencari cara mengantisipasinya agar kelak cara-cara itu juga bisa dipraktikkan. Masih banyak hal lain yang harus disesuaikan jika musim hujan diprediksi berkepanjangan, di antaranya soal pemupukan pupuk anorganik dan lain sebagainya.

Musim Kemarau

Fokus utama dalam budidaya padi di musim kemarau adalah air. Petani alumni SL Iklim diharapkan bisa mencari jalan keluar jika iklim diprediksi kemarau. Teknik yang ditawarkan di antaranya mengganti tanaman padi dengan palawija, membuat sumur pantek untuk mengairi sawah jika suplai dari saluran irigasi menipis, dan manajemen bersama pengelolaan air.

Pak Haji Muchlas, seorang alumni SL Iklim 2009 asal Desa Pulutan Nogosari mengatakan dia menggunakan air dari sumber sumur pantek untuk memenuhi kebutuhan air sawahnya. ”Pulutan daerah satu-satunya yang berani mencoba padi pada musim kemarau (tahun 2009) tidak irigasi di sini, modalnya nekat dan ketekunan karena mengandalkan sumur pantek. Kalau petaninya tidak ulet bisa gagal,” papar Pak Muchlas.

Dia menambahkan perubahan iklim akan menguntungkan jika bisa mengantisipasi tapi kalau tidak akan mencelakakan. Saat kemarau 2009 itu, penyuluh pertanian di Boyolali lebih menganjurkan penanaman palawija daripada mengambil risiko bertanam padi.

Sementara Pak Muksam menjelaskan organisasi P3A memainkan peran yang penting saat musim kemarau tiba. Dia mengatakan selain sumur pantek, petani mengandalkan manajemen penggunaan air yang dikoordinasikan oleh P3A. ”Dengan pompa ngedum membagi jam-jaman, tujuannya untuk menghemat air tidak boleh berlebihan. Jadi pembagian air dilakukan bergiliran, istilahnya gontoran, melibatkan petugas dari pengairan, gapoktan dan P3A,” papar Muksam.

Begitulah sedikit gambaran hasil sekolah iklim di Boyolali. Yang pasti, pengetahuan yang mereka dapatkan diharapkan bisa menjadi modal untuk beradaptasi menghadapi fenomena iklim yang tidak menentu ini.

Instruktur SL Iklim, Pak Iskak Harjono menjelaskan sekolah iklim digelar sebagai upaya untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim dalam budidaya pertanian. Dengan memahami data-data iklim, lanjut Pak Iskak, diharapkan petani bisa mengidentifikasi musim untuk pertanaman budidaya pertanian mereka. “Dengan demikian mereka bisa menentukan pola tanam, atau bisa mengatur agar tanaman tidak kebanjiran atau kekeringan,” paparnya. Oke deh, semoga sukses.

Salam Pertanian.

4 Responses

  1. Semangat dengan SLI semoga tambah sukses…

  2. semoga tambah sukses dehh…

  3. baru tau kalo ada sekola iklim

  4. thanks sob untuk postingannya…
    article yang menarik,saya tunggu article berikutnya yach.hehe..
    maju terus dan sukses selalu…
    salam kenal yach…

Leave a comment